Adab Buang Hajat

0
1505

Syaikh Dr. Saleh Al Fauzan –hafidzahullah-

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad dan pengikutnya.
Agama Islam adalah agama yang sempurna, tidak ada sesuatu pun yang dibutuhkan manusia baik di dunia maupun di akhirat kecuali telah diterangkan. Diantaranya adalah masalah buang hajat, Islam telah menjelaskan adab-adabnya. Baik adab saat masuk tempat buang hajat, saat buang hajat, maupun saat keluar.

[Masuk dan Keluar Tempat Buang Hajat]
Jika akan masuk tempat buang hajat (WC) maka disunnahkan mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Dengan menyebut nama Allah, saya berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan perempuan [1].
Mendahulukan kaki kiri saat masuk. Saat keluar mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan,
غُفْرَانَكَ
Saya mengharap ampunanMu [2]
Membaca juga,
الحمد لله الذي أذهب عني الأذى وعافاني
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari saya kotoran dan menyehatkanku[3].
Yang demikian itu karena kanan digunakan untuk hal-hal di dalamnya ada usur pemuliaan dan memperindah. Adapun kiri digunakan untuk urusan membersihkan kotoran dan semisalnya. Jika ingin membuang hajat di tempat yang tidak khusus untuk buang hajat maka disunnahkan untuk menjauhi orang lain, mencari tempat tempat sepi dan tertutup dari pandangan manusia baik di balik tembok, batu, pohon atau yang lainnya.

[Adab saat Buang Hajat]
Dilarang untuk menghadap qiblat atau membelakanginya saat buang hajat karena Nabi melarang yang demikian itu [4]. Hendaknya berhati-hati terhadap percikan air kencing agar tidak mengenai badan atau pakaian. Hendaknya mengarahkan air kecing ke tempat yang berongga agar tidak memercik ke mana-mana. Tidak boleh memegang kemaluan dengan tangan kanan. Tidak boleh juga buang hajat di jalan yang di lewati manusia, tidak juga di tempat berteduh dan juga aliran air mereka. Hal ini berdasar larangan dari Rasulullah [5] dikarena hal-hal tersebut akan membahayakan dan menggangu manusia.
Tidak boleh membawa sesuatu yang terkandung dzikrullah atau Al Qur’an didalamnya. Tetapi jika tertutup maka tidak mengapa, dan hendaknya membungkusnya. Hendaknya tidak berbicara saat buang hajat berdasar hadits yang diriwayatkan dari Nabi [6]. Diharamkan membaca al Qur’an di dalamnya.

[Seusai Buang Hajat]
Jika telah selesai buang hajat maka hendaknya ia membersihkan kemaluannya dengan beristinja’ (dengan air) atau beristijmar (dengan batu atau yang menggantinya). Jika menggabungkan keduanya maka itu lebih utama. Jika mencukupkan pada salah satunya maka itu cukup. Istijmar bisa menggunakan batu, tissue, potongan kain atau yang semisalnya yang bisa membersihkan tempat membuat kotoran. Disyaratkan minimal tiga kali usapan yang membersihkan. Tidak boleh beristijmar dengan tulang atau kotoran hewan [7]. Hendaknya ia menghilangkan bekas kotoran yang keluar dan mengusapnya agar tidak tersisa sedikit pun najis di badanya dan juga agar jangan sampai najis tersebut berpindah mengenai bagian badan yang lainnya atau pakaian.
Sebagia fuqaha’ mengatakan bahwa Istinja’ dan Istijmar adalah syarat sahnya wudhu’, maka harus sebelumnya. Kalau wudhu sebelumnya maka tidak sah. Berdasarkan hadits Miqdad “.. Mencuci kemaluannya lalu wudhu” [8]. Berkata An-Nawawi, “Assunnah: Hendaknya beristinja’ sebelum wudhu agar keluar dari khilaf dan agar tenang telah sempurna bersuci”.
Perhatian! Hendaknya bersungguh-sungguh dalam membersihkan air kecing karena tidak bersih dari air kencing adalah salah satu penyebab adzab qubur. Rasulullah bersabda, “Bersungguh-sunnguhlah kalian membersihkan air kecing karena banyak adzab qubur karenanya” [9].

Semoga bermanfaat. Sholawat dan salam semoga tercurah pada Rasulullah, keluarga, sahabat serta pengikutnya.

Diterjemahkan dengan sedikit diringkas dari kitab “Al-Mulakhos al-Fiqhy” karya syaikh Dr. Saleh Al Fauzan hafidzahulah. Keterangan yang ada dalam tanda kurung adalah tambahan dari penerjemah.
Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 23/3/2013.
Artikel: www.ukhuwahislamiah.com
Note:
[1] HR Muslim (375),Abu Dawus(4,6), Ibnu Majah (298)
[2] HR Abu Dawud (30)
[3] HR Ibnu Majah (301)
[4] HR Bukhari (144), Muslim (264), dari hadits Abu Ayyub
[5] HR Muslim(269) dari Abu Hurairah, Abu Dawud (26) dengan makna yang serupa dari Muadz dan Ibnu Majah (328)
[6] Dari riwayat Abu Sa’id Al Khudri. Ahmad (11296), Abu Dawud (15), Ibnu Majah(342)
[7] HR Bukhari (155) dari hadits Abu Hurairah, Muslim (262,264) dari hadits Salman dan Jabir
[8] HR Bukhari(269). Muslim (303)
[9] HR Daruquthny. Al Hafidz berkata sanadnya sahih, dia memiliki syawahid/penguat dan asalnya ada dalam shahihain

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here