Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah.
Islam memerintahkan untuk bersikap pertengahan (tawasuth) dalam segala hal. Tidak boleh berlebihan (ghuluw) atau sebaliknya meremehkan (tafrith). Termasuk bagaimana bersikap terhadap orang shalih, tidak boleh berlebihan atau meremehkan. Dalam tulisan ini, insyaallah akan dibahas sekilas bahaya ghuluw terhadap orang shalih.
Allah berfirman,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya.” (QS An Nisa’: 171)
Dalam ayat ini Allah memperingatkan agar tidak ghuluw dalam beragama. Yang dimaksud ghuluw adalah berlebihan dalam mengagungkan baik dengan ucapan maupun dengan keyakinan. Meskipun konteks ayat ini untuk ahli kitab tetapi maknanya umum mencakup peringatan bagi seluruh umat agar tidak ghuluw terhadap nabi mereka seperti yang dilakukan Nasrani terhadap Nabi Isa. Mereka ghuluw terhadap Nabi Isa, bahkan akhirnya menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah. Begitu juga Yahudi, mereka ghuluw terhadap Uzzair, mengatakan beliau adalah anak Allah. Umat ini jangan sampai mengikuti jejak mereka.
Sebab Kekufuran Pertama Kali: Ghuluw terhadap orang shalih
Ghuluw tehadap para Nabi tidak diperbolehkan apalagi yang lebih rendah kedudukannya dari mereka seperti orang-orang yang shalih. Bahkan kalau kita lihat dalam sejarah, kita dapati ghuluw terhadap orang shalih inilah yang menyebabkan pertama kali munculnya kesyirikan atau kekufuran di muka bumi, yaitu di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam. Sebelumnya, sejak zaman Nabi Adam ‘alahissalam manusia senantiasa berada diatas agama yang lurus. Meskipun mungkin ada diantara mereka yang jatuh dalam dosa atau kemaksiatan tetapi belum ada yang terjerumus dalam kesyirikan.
Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan tentang firman Allah:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
”Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.” (QS Nuh: 23)
Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung tersebut disembah”.
Ibnul Qayyim berkata: “Banyak para ulama salaf mengatakan: “Setelah mereka itu meninggal, banyak orang-orang yang berbondong-bondong mendatangi kuburan mereka, lalu mereka membuat patung-patung mereka, kemudian setelah waktu berjalan beberapa lama akhirnya patung-patung tersebut dijadikan sesembahan”.
Larangan ghuluw terhadap Nabi Muhammad apalagi yang selainnya
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik manusia. Meskipun demikian, beliau melarang kita untuk ghuluw terhadap beliau. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا عَبْدَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
”Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (Utusan Allah).” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah melarang kita mengkultuskan beliau, yaitu berlebihan dalam memuji. Beliau adalah seorang hamba biasa yang tidak boleh disembah karena ibadah adalah hak ilahiyah Allah semata. Tidak boleh juga menyakini bahwa beliau memiliki bagian dalam rububiyah Allah seperti ikut mengatur alam semesta, memberi kelancaran rizki dan lainnya. Beliau adalah seorang hamba yang diutus sebagai seorang Nabi dan Rasul. Yang wajib bagi kita adalah memuliakan beliau, membenarkan kabar atau sabda beliau serta mengikuti ajaran beliau.
Larangan ghuluw secara umum
Dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ
”Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas)
Hadits ini menunjukkan larangan ghuluw secara umum baik dalam keyakinan, ucapan maupun amal perbuatan. Rasulullah melarang ghuluw secara umum karena itu adalah sebab kebinasaan. Dalam shahih Muslim, Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ- قَالَهَا ثَلاَثًا
”Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.” (diulanginya ucapan itu tiga kali).
Sekian, semoga tulisan singkat ini bermanfaat –insyaAllah bersambung dengan artikel berikutnya-. Tulisan ini disarikan dari kitab Fathu Al Majid Syarhu Al Kitabi At Tauhid.
—
Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 21/6/1436H.