Syaikh Dr Saleh Al Fauzan hafidzahullah
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam atas Rasulullah.
Agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan bukan agama yang sempit dan sulit. Islam menetapkan bagi setiap keadaan hukum yang sesuai demi terealisasikannya maslahat dan terhidarnya kesulitan. Diantaranya pada masalah wudhu’. Jika ada sesuatu yang menutupi anggota wudhu yang akan menimbulkan kesulitan jika dilepas seperti penutup kaki (misalnya khuf/sepatu) penutup kepala (misalnya Imamah), penutup luka, dan semisalnya maka syariat Islam memberi kemudahan bagi orang yang berwudhu’ untuk mengusap penutup-penutup tersebut. Jadi tidak perlu melepas lalu mencuci anggota wudhu yang ditutupinya.
Dalil Tentang Mengusap Khuf (Sepatu), Kaos Kaki dan Semisalnya
Adapun tentang mengusap khuf dan semisalnya seperti kaos kaki, maka telah tetap berdasarkan hadits-hadits shahih yang mutawaatir bahwa Rasulullah melakukannya baik dalam keadaan safar maupun mukim. Beliau juga memerintahkan para sahabat untuk melakukannya, sebagai bentuk rukhshoh (keringanan).
Berkata Al Hasan, “Telah mengabariku 70 sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau mengusap khuf” [1]. Ibnu Mundzir menukil adanya ijma’ dikalangan ulama’ tentang bolehnya mengusap khuf [2].
Hukum mengusap khuf adalah boleh sebagi bentuk rukhshoh (keringanan), jadi mengamalkannya lebih utama daripada melepas khuf lalu mencuci kedua kaki. Hal ini sebagai bentuk mengambil kemudahan yang Allah tetapkan dan mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah. Rasulullah tidak memberatkan diri untuk melakukan hal yang bertolak belakang dengan keadaanya. Jika beliau memakai khuf maka mengusapnya, jika tidak memakai maka beliau mencuci kedua kakinya. Tidak disyariatkan untuk memakai khuf sekedar untuk mengusapnya.
Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf dan Awal Hitungannya
Bagi seorang yang mukim jangka waktunya adalah sehari semalam (24 jam), adapun bagi musafir selama tiga hari beserta malam-malamnya (3X24 jam). Sebagaimana diriwayat imam Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah menjadikan bagi seorang yang musafir (kebolehan mengusap khuf) selama tiga hari dan malam-malamnya, dan sehari semalam bagi seorang yang mukim” [3]. Awal dari jangka waktu mengusap khuf (baik saat mukim maupun safar) adalah hadats setelah memakai khuf. Hal ini karena terjadinya hadats-lah yang mewajibnya wudhu’ dan bolehnya mengusap khuf dimulai setelah hadats. Sehingga jangka waktunya adalah dihitung dari awal bolehnya mengusap. Sebagian ulama ada yang memandang bahwa awal dihitung jangkanya adalah mengusap setelah hadats.
Syarat-Syarat Mengusap Khuf
- Memakai khuf tersebut dalam keadaan suci dari hadats.
Berdasarkan hadits bahwa ada seorang sahabat yang ingin melepas khuf Rasulullah pada saat beliau berwudhu, beliau bersabda, “Biarkan, sesungguhnya saya memakai keduanya dalam keadaan suci.” [4]
- Khuf dan yang semisalnya itu dari hal yang mubah
Jika khuf tersebut hasil rampasan/curian atau terbuat dari sutera (bagi laki-laki) maka tidak sah. Sesuatu yang haram tidak menjadi boleh dengan rukhshah (keringanan).
- Khuf dan yang semisalnya itu menutupi kaki
Jika khuf atau yang semisalnya tersebut tidak mengutupi bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu maka tidak boleh mengusapnya. Seperti jika khuf tersebut tidak sampai menutupi mata kaki atau seperti kaos kaki yang tipis dan berongga yang tidak menutup kaki.
Boleh mengusap sesuatu yang mengganti khuf (sepatu) seperti kaos kaki. Berdasarkan hadits bahwa Nabi shallallahu alahi wasallam mengusap atas kaos kaki dan sandal beliau [5].
Mengusap Imamah (sejenis penutup kepala)
Boleh mengusap imamah dengan dua syarat:
- Imamah tersebut menutupi kepala, kecuali yang secara adat biasa terbuka [seperti wajah].
- Imamah tersebut muhannakah yaitu yang dililitkan sampai bawah dagu, sekali lilitan atau lebih. Atau imamah tersebut memiliki ekor, yaitu yang diuraikan ujungnya dari belakang.
Dibolehkan mengusap khuf dan ‘imamah untuk thaharoh dari hadats kecil saja. Adapun hadats besar maka wajib mencuci apa yang dibawahnya.
Mengusap Jabiirah (pembalut tulang yang patah), Perban dan Semisalnya
Diperbolehkan mengusap Jabiirah yaitu kayu atau benda sejenisnya yang digunakan untuk menguatkan tulang yang patah. Dibolehkan juga mengusap diatas perban yang digunakan untuk menutup luka dan semisalnya. Diperbolehkan mengusap barang-barang diatas dengan syarat sekedar keperluan, yaitu yang diletakkan di tempat tulang yang patah atau luka dan yang sekitarnya yang memang dibutuhkan. Jika melebihi keperluan maka wajib dilepas dan dicuci yang dibawahnya.
Diperbolehkan mengusap jabirah dan yang semisalnya tersebut untuk hadats besar dan kecil. Boleh mengusap sampai jangka waktu yang dibutuhkan, tidak ada batasan waktu tertentu. Diperbolehkan mengusapnya karena daurat dan hal yang darurat sesuai kadar yang dibutuhkan. Dalilnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, dia berkata, Kami (para sahabat) keluar untuk bersafar, maka salah seorang dari kami terkena batu hingga menimbulkan luka di kepala. Kebetulan dia mimpi basah, lalu bertanya pada sahabat-sahabatnya apakah dia memiliki keringanan untuk bertanyamum. Sahabat-sahabatnya pun menjawab bahwa ia tidak memiliki udzur untuk tayamum karena mampu untuk menggunakan air. Lalu diapun mandi kemudian mati. Lalu hal tersebut diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu. Sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Sebenarnya cukup baginya bertanyamum lalu meletakkan diatas lukanya penutup lalu mengusapnya, kemudian mencuci seluruh badannya.” [6]
Cara Mengusap
Untuk khuf(sepatu) dan kaos kaki maka diusap bagian atasnya. Adapun imamah diusap sebagian besarnya khususnya bagian pinggirnya, sedang untuk jabirah dan yang semisalnya maka diusap seluruhnya.
Tatacara mengusap khuf: meletakkan jari-jari tangan yang telah basah dengan air di atas jari-jari kaki lalu menjalankannya keatas, mengusap kaki kanan dengan tangan kanan, kaki kiri dengan tangan kiri. Merenggangkan jemarinya jika telah selesai mengusap dan tidak perlu mengulangi usapan.
Semoga Allah memberi kita semua taufik untuk ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
Diterjemahkan dan diringkas dari Kitab Mulakhos Fiqhy karya Syaikh Dr. Saleh al Fauzan hafidzahullah oleh Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh 28/3/2013.
Catatan:
[1] Lihat al Awsath karya Ibnu Mundzir (1/430,433), Nashbu Royah karya Zaila’iy (1/163), I’lam bi fawaidh umdatil ahkan karya Ibnu Mulaqin (1/615-616)
[2] Idem
[3] HR Muslim dari sahabat Ali (276)
[4] HR Bukhari (206), Muslim (274) dari sahabat Mughirah
[5] HR Ahmad (18167), Abu Dawud (159), Tirmidzi (99), Ibnu Majah (559). Dishahihkan Tirmidzi
[6] HR Abu Dawud (336) dishahihkan Ibnu as Sakan. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas hadits semisal oleh Abu Dawud (337), Ibnu Majah(572)