Sesuai judul, kali ini kita akan membahas intervensi militer di Yaman yang dilakukan oleh Arab Saudi, UAE, Mesir, Bahrain, Qatar (sudah tidak lagi) dan negara Arab lainnya. Artikel ringkas ini tidak membahas panjang lebar tentang perang sipil yang terjadi di Yaman karena terlalu luas dan “rumit” untuk dibahas singkat. Iya, “rumit” itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi di Yaman karena banyaknya permasalahan dan perpecahan di internal Yaman sendiri. Setidaknya itu yang saya dengar langsung dari diskusi dengan beberapa teman yang berasal dari Yaman. Kebetulan saya memiliki beberapa teman dekat dari berbagai daerah di Yaman, ada yang dari Aden, Taiz, Hadramaut dan lainnya.
Latar belakang?
Sebagaimana diketahui perang sipil di Yaman sendiri bermula tahun 2015 saat pemberontak Hutsi (yang diyakini didukung Iran) bekerjasama dengan loyalist Ali Abdullah Saleh (mantan presiden Yaman yang dilengserkan dalam revolusi Yaman 2012) berusaha menggulingkan pemerintahan presiden Abdrabbuh Mansur Hadi. Atas permintaan pemerintah Yaman dan juga pertimbangan keamanan regional maka Saudi pun memimpin koalisi untuk melakukan intervensi militer. Jadi tidak benar kalau ada yang menyatakan bahwa Saudi yang menginisialisasi perang di Yaman.
Sorotan Media, Posisi dan Peran Saudi
Hal menarik yang perlu dicatat adalah media dan masyarakat internasional lebih banyak menyoroti tentang Saudi dan peran Saudi daripada tentang perang sipil di Yaman itu sendiri. Kenapa? Diantara kemungkinan sebabnya adalah karena pentingnya posisi Saudi di dunia internasional dan juga karena vitalnya peran Saudi dalam intervensi militer ini. Orang di luar Yaman mungkin banyak yang tidak mengetahui atau bahkan malas mengetahui tentang permasalahan di Yaman sebenarnya. Perselisihan dan perang sipil di Yaman bukan sesuatu yang baru. Dalam sejarahnya Yaman tidak pernah sepi dari perselisihan dan perang, misal: runtuhnya Kerajaan Mutawakkilite yang diikuti perang sipil di Yaman Utara (1962-1970), perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan (1979), perang sipil di Yaman Selatan (1986), penyatuan Yaman yang berakhir perang sipil (1990-1994), Al Qaeda (1998-sekarang), pemberontakan Al Hutsi (2004-sekarang), dan revolusi Yaman (2011-2012) yang berlanjut perang sipil sampai saat ini. Jadi perang sipil yang terjadi saat ini disebabkan karena perpecahan internal yang terjadi di Yaman itu sendiri dan juga akumulasi dari permasalah-permasalahan sebelumnya. Faktor eksternal mungkin juga berpengaruh, tetapi yang paling utama tentu dari dalam internal Yaman itu sendiri. Kurang fair rasanya kalau sekedar menyalahkan atau menyoroti Saudi dalam perang saat ini.
Posisi Arab Saudi sendiri sejak awal telah jelas mendukung pentingnya solusi politik di Yaman dan tidak ingin mencampuri terlalu jauh politik internal Yaman. Sebagaimana diketahui, Saudi dan negara-negara teluk (GCC) adalah promotor utama untuk diselenggarakannya Dialog Nasional (National Dialogue Conference, Maret 2013-Januari 2014) untuk rekonsiliasi dan mencari solusi jangka panjang atas krisis di Yaman. Dialog Nasional ini dihadiri seluruh elemen dan kekuatan politik di Yaman termasuk perintahan Hadi, partai Ali Abdullah Saleh (General People’s Congress), Hutsi, Al Islah, Southern Movement, Naseris, Sosialis, Salafy dan lainnya. Hasil Dialog Nasional tersebut sebenarnya sangat memuaskan dan disetujui seluruh pihak. Tetapi ternyata dalam implementasinya, Hutsi dan loyalist Ali Abdullah Saleh memanfaatkan kesempatan dengan kekuatan militer yang mereka miliki untuk merebut San’a, Ta’iz, dan wilayah lainnya. Pangeran Muhammad bin Salman dalam wawancara di TV Saudiya ( https://youtu.be/AeXc4CollkE ) menegaskan Saudi telah berusaha menjauhi perang dan melakukan dialog sampai detik-detik terakhir. Namun, karena Hutsi dan sekutunya terus melanjutkan agresi militernya dan mulai masuk Aden (pusat Yaman Selatan) yang membuat kondisi dan solusi politik sangat sulit maka Saudi pun “terpaksa” memimpin intervensi militer. Dalam wawancara tersebut juga Muhammad Bin Salman menegaskan sebenarnya kekuatan militer Saudi sangat mampu mengalahkan Hutsi dan loyalist Ali Abdullah Saleh dalam waktu singkat tetapi itu akan menguras kekuatan militer Saudi dan juga berakibat korban sipil yang tidak sedikit di Yaman. Saudi hanya menggunakan sebagian dari kapasitas militernya terutama serangan udara dari Royal Saudi Air Force untuk membantu tentara Yaman dan Popular Resistance (yang loyal Hadi). Blokade juga dilakukan untuk menghalangi atau meminimalisir pasokan senjata dari luar (terutama dari Iran). Pasukan darat Saudi sendiri sebagian besar hanya berjaga di perbatasan Saudi-Yaman.
Progres
Koalisi yang dipimpin Saudi mulai melancarkan Operation Decisive Storm (عملية عاصفة الحزم) pada 26 March 2015. Setelah berhasil mencapai tujuan utama mereka untuk merestore kembali pemerintahan Hadi, mendown-grade kapasitas militer Hutsi dan sekutunya (terutama kemampuan misil balistik), dan juga membebaskan beberapa wilayah penting (Aden, Ma’rib, sebagian Ta’iz dan selat Bab-el-Mandeb) mereka mengumumkan mengakhiri operasi militer tersebut pada 22 April 2015 dan akan lebih fokus pada proses politik dan perdamaian dengan memulai Operation Restoring Hope (عملية إعادة الأمل).
Arab Saudi dan pasukan koalisi kiranya cukup faham bahwa Hutsi dan Ali Abdullah Saleh masih memiliki pendukung yang cukup kuat di Yaman sebelah utara (meskipun diantara keduanya juga ada perselisihan yang sengit). Ditambah lagi ada beberapa perselisihan di dalam internal pendukung Hadi, terutama di Yaman selatan yang ingin memisahkan diri kembali. Belum lagi ditambah masalah Al Qaidah dan ISIS. Koalisi yang dipimpin Saudi (dan juga sebagaimana disebutkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 2216) terus meminta pihak yang berseteru untuk kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan krisis Yaman yang berkepanjangan. Beberapa kali proses diskusi damai belum berhasil. Perang masih berlanjut sampai saat ini, dilaporkan sampai November 2017 telah menelan 10.000 korban jiwa baik dari militer maupun warga sipil. Pengangguran dan kemiskinan semakin merata ke seluruh Yaman. Kelaparan dan juga wabah penyakit (seperti wabah kolera 2017) tersebar luas terutama di daerah-daerah yang dikuasai Hutsi dan sekutunya. Saudi juga terus memberikan bantuan kemanusiaan dan kesehatan ke Yaman terutama lewat King Salman Relief Center.
Penutup
Perang masih terus berlangsung, meskipun kondisi di lapangan menunjukkan sulitnya solusi politik dan pemerintah Hadi mulai mengisyaratkan solusi militer adalah jalan yang paling memungkinkan (secara tidak langsung seolah meminta Saudi dan negara koalisi membantu militer secara penuh misal dengan serangan darat). Namun, pemerintah Saudi sendiri kelihatannya masih akan terus menyuarakan solusi politik untuk Yaman sambil terus melanjutkan intervensi militer untuk mengimbangi kekuatan militer Hutsi (yang dibantu Iran) dan loyalist Ali Abdullah Saleh. Saudi kelihatannya juga belajar dari konflik-konflik Yaman sebelumnya, harus ada solusi di internal Yaman sendiri. Patutkah Saudi terus disalahkan?
Saya sendiri tidak ingin sibuk menuduh siapa yang salah dan siapa yang benar. Kita berharap perang dan konflik di Yaman segera selesai. Kita berharap rakyat Yaman bisa bersatu kembali meskipun dengan berbagai perbedaan yang ada dan mencari solusi terbaik untuk negaranya.
Sekian dulu, tulisan berikutnya mungkin agak sensitif untuk sebagian orang yaitu tentang krisis Qatar dan hubungan dengan IM.
Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 04/03/1439H.